Tersenyum adalah ekspresi pertama saya, ketika mengetahui Negeri Para Bedebah mempunyai lanjutan, buku kedua. Karena Novel Negeri Para Bedebah sangat membutuhkannya, ceritanya tak hanya menggantung, tapi lebih parah. #lebay
Novel bercover warna hijau tua dan hampir dipenuhi dengaan gambar Monyet berjas ini Masih karangan Tere Liye.
Selain cerita yang sangat menarik, didalamnya sarat dengan pelajaran dan kebijakan.
Sama dengan postingan tentang Negeri Para Bedebah, ini bukan review Buku, ini hanya tulisan rasa yang saya rasakan, ketika membaca atau sesudah membaca Novel Negeri di Ujung Tanduk.
Jujur saya tidak pernah membeli Novel ini, tapi saya memilikinya. Ini tidak lain karena ada teman dekat yang dengan tulus menghadiahkan buku ini pada saya, dan yang lebih mengharukan lagi, dalam novel ini sudah dibubuhi tanda tangan dari sang penulis, Tere Liye.
Tak butuh pikir lama untuk membaca novel ini. Datang langsung baca.
Benar-benar buku yang bagus. Diawal buku ini langsung tanpa membahas buku sebelumnya seolah dengan cerita yang berbeda. Tapi, semakin kebelakang semua kasus di buku Negeri Para Bedebah dibongkar.
Di negeri di Ujung Tanduk kehidupan semakin rusak,
Bukan karena orang jahat semakin banyak, tapi semakin banyak orang yang memilih tidak peduli lagi.
Di Negeri di Ujung Tanduk, para penipu menjadi pemimpin, para pengkhianat menjadi pujaan, bukan karena tidak ada lagi yang memiliki teladan, tapi mereka memutuskan menutup mata dan memilih hidup bahagia sendirian.
Tapi di Negeri di Ujung Tanduk Setidaknya, kawan, seorang petarung sejati akan memilih jalan suci,
meski habis seluruh darah di badan, menguap segenap air mata, dia akan berdiri paling akhir, demi membela kehormatan
Kata-kata diatas adalah yang ada di cover belakang novel Negeri di ujung tanduk.
Kata-kata bijak banyak berserakan di buku ini, tokoh yang lembut dengan perkataan yang menyejukkan juga bisa ditemui di buku ini.
Bahkan saya sempat berteriak gemas di halaman 103, dan memukul meja terbawa cerita di halaman 259 #aslilebay. Tapi buat pembaca saya sangat tidak menyarankan langsung membaca halaman 337 karena disitu puncak cerita (menurut saya), kalau tahu apa yang terjadi di halaman 337 sebelum waktunya, maka keasikan membaca bisa berkurang.
Dan buat teman-teman yang sudah membaca buku Negeri Para Bedebah, pasti sangat tidak asing dengan cerita Opa, cerita yang diulang berkali-kali bahkan sampai beribu-ribu kali seperti kaset rusak. Ternyata semua cerita berawal dari cerita Opa tersebut, dan juga diakhiri dengan lanjutan kisah Opa tersebut.
Dibuku ini Tere membuat saya gemas dengan kata-katanya yang Tommi bilang dia susah untuk berbicara dengan anak kecil, susah untuk mengerti cara memahami pola fikir anak kecil. Mungkin lebih mudah berbicara dengan ribuan orang didalam ruangan, mengambil pokok masalah yang sedang hangat. Padahal, hey buku-buku Tere Liye yang lain paling banyak membahas tentang anak kecil, janji kehidupan yang lebih baik, janji-janji masa depan. Ah Tere.
Bisa dibilang kalau buku Negeri Para Bedebah masih berkutat di Indonesia (ya walau ada cerita di luar negeri juga), sedangkan buku Negeri di Ujung Tanduk ini sudah Internasional. Cerita semakin luas jangkauannya (ya walau cuma di negeri tetangga).
Benar kata Kris, selalu ada pola di dunia ini. Apapun itu bahkan saat sesuatu itu tidak berpola, polanya adalah tidak beraturan.
Ada satu bagian yang saya sangat suka, yaitu judul ke 25 Keluarga yang menyenangkan. Keluarga JD, menurut saya adalah perwujudan dari novel-novel Tere yang lain, tentang pendidikan keluarga.
Dan yang saya suka di buku ini di akhiri dengan kalimat-kalimat bijak, membuat tak ada cerita bergantungan.
Setelah menyelesaikan membaca Negeri di ujung tanduk, saya baru sadar ternyata cerita yang sangat seru ini sebenarnya hanya penjabaran atas perkara yang sangat singkat, kepedulian.
“jarak antara akhir yang baik dan akhir yang buruk dari semua cerita hari ini hanya dipisahkan oleh sesuatu yang kecil saja, yaitu kepedulian”
Oiya…
Setelah baca-baca komentar tentang buku ini di goodreads saya sedikit sedih karena banyak yang tidak puas dengan buku lanjutan Negeri para bedebah ini. Tapi setiap orang kan berhak mengeluarkan suaranya, kn suara-suara dia 🙂
Tapi saya tetap berpegangan dengan kalimat yang Tere Liye cantumkan di goodreads.
“jangan mau jadi kritikus buku, tapi tidak pernah menulis buku” 🙂
Yang jelas saya sangat menikmati karya-karya Tere Liye, termasuk Negeri di Ujung Tanduk ini.
bang, kritikus sastra adalah profesi yang harus ada, dan disarankan untuk tidak menulis sastra juga, dan di Indonesia kritikus yang baik, jarang sekali.
Saya belum baca bukunya padahal tgl 23 nove bang tere bedah buku di sby . 😦
maaf, kalau bleh tau sby tu dimana ya?